APPBI : Perda Perpasaran Swasta Sudah Tidak Layak

ASOSIASI Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan bahwa Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta tidak bisa digunakan lagi karena masih adanya putusan sela dari pengadilan.
Ketua APPBI DPD DKI Jakarta Raya Andreas Kartawinata di Jakarta, Jumat (22/5) mengatakan, perda yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta itu tidak bisa digunakan karena dalam peraturan di atasnya tidak mengatur atau menyebutkan masalah jarak antara pasar tradisional dengan pasar modern. Ini didasari hirarki peraturan perundang-undangan bahwa perda berada di bawah peraturan presiden (perpres) dan peraturan menteri (permen).
Andreas mengatakan, ketentuan maupun subtansi perda itu sudah berbeda atau berlainan penafsiran bahkan bertentangan dengan permen dan perpres yang menjadi pedoman pelaksanaan perda. Perda seharusnya mempunyai kekuataan hukum di bawah perpres dan permen. Untuk Perda Nomor 2 tahun 2002 itu berada di bawah Perpers Nomor 112 tahun 2007 dan Permen Perdagangan Nomor 53 tahun 2008.
"Tetapi kenapa masalah ini masih terus dipertanyakan terus. Padahal keberadaan pasar modern juga tidak mematikan pasar tradisional. Banyak beberapa contoh pasar tradisional yang berdampingan dengan pasar modern. Masalah pasar tradisional terletak pada pengelolaan pasar itu sendiri. Kenapa pasar tradisional tidak berbenah dan dikelola dengan baik," imbuh Ketua DPP APPBI Stefanus Ridwan.
Ridwan juga mengkritik pengelolaan pasar tradisional yang jauh dari modern. Seperti peremajaan yang tidak cepat dilakukan. Termasuk mahalnya harga jual atau sewa kios ketika pasar tradisional dilakukan peremajaan. Menurut Ridwan hal itu yang membuat pasar tradisional tidak diminati oleh para pedagang. Dia menyatakan hal itu karena pihak APPBI pernah bertemu dengan pengurus pedagang pasar tradisional.
APPBI juga mempertanyakan kenapa pengelola pasar tradisional seperti PD Pasar Jaya juga mendirikan pusat belanja atau mall di atas lahannya sendiri. Jadi sebenarnya masalah jarak tidak menjadi persoalan. Ridwan menyontohkan, pasar tradisional di Bintaro, Serpong, Kelapagading, dan Puri Indah bisa hidup dan tetap diminati oleh masyarakat karena mau berbenah. Lokasinya juga tidak jauh dari pasar modern.
Padahal, kata Andreas, pasar modern itu juga menampung banyak pelaku para usaha menengah kecil dan mikro (UMKM). Bahkan jumlah UMKM itu lebih banyak daripada di pasar tradisional. Selain itu masalah perolehan pajak, pengelola pasar modern memberikan kontribusi pajak berupa pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar. Termasuk penyerapan tenaga kerja di pasar modern juga banyak. Dia mengatakan, pasar modern dengan luas 40.000 meter persegi dapat menyerap tenaga kerja hingga 4.000 tenaga kerja. (ang)

Comments

Popular posts from this blog

Perusahaan Ini Melanjutkan Proyek Properti di Karawaci

Humobility World, Komitmen Daihatsu Terhadap Manusia dan Lingkungan (I)

Bursa Mainan Prumpung Jadi Pilihan